PANDANGAN HAMKA TENTANG TOLERANSI BERAGAMA
DALAM TAFSIR AL-AHZAR
Oleh: Dina Murdiani
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kerukunan antar umat beragama merupakan satu unsur penting yang
harus dijaga di Indonesia yang hidup di dalamnya berbagai macam suku, ras,
aliran dan agama. Untuk itu sikap toleransi yang baik diperlukan dalam
menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut agar kerukunan antar umat beragama dapat
tetap terjaga, sebab perdamaian nasional hanya bisa dicapai kalau masing-masing
golongan agama pandai menghormati identitas golongan lain. Kerukunan dan toleransi yang diajarkan oleh Islam dalam kehidupan
antar-umat beragama bukanlah suatu toleransi yang bersifat pasif. Tetapi aktif,
aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan orang lain serta aktif dan
bersedia senantiasa untuk mencari titik persamaan antar bermacam-macam
perbedaan. Karena kemerdekaan beragama bagi seorang muslim adalah suatu nilai
hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri. [1]
Terdapat beberapa pendapat dari para tokoh mengenai masalah
toleransi salah satunya seperti Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Buya Hamka,beliau mengungkapkan pemikirannya dalam
sebuah karya tafsir yaitu Tafsir Al-Azhar. Selain itu beliau bisa menjadi
teladan tentang bagaimana toleransi beragama yang baik. Disini penulis akan
membahas pandangan Hamka tentang toleransi beragama dalam Tafsir Al-Azhar.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Hamka?
2. Bagaimana pemikiran Hamka tentang
perbudakan dalam tafsir Al-Azhar?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Hamka
Nama Haji Abdul Malik Karim
Amrullah atau yang disingkat menjadi (Hamka) lahir di Maninjau, Sumatera Barat, pada 16 Februari 1908.[2]
Di kampung Molek, disebuah desa bernama Tanah Sirah, dalam nagari Sungai
Batang, di tepi Danan Maninjau, Tanjung Raya. Hamka meninggal tahun 1981 pada
bulan Ramadhan.[3]
Hamka mengikuti pendidikan formal hanya sampai kelas 2 Sekolah Dasar. Setelah kelas 2 Sekolah Dasar, dia tidak pernah bersekolah formal lagi. Hamka lebih suka belajar sendiri. Dalam usia 6 tahun (1914) dia dibawa
ayahnya Syekh Haji Abdul Karim ke Padang Panjang. Dari ayahnya, Hamka mendapat pendidikan agama,
seperti nahwu, sharaf, hadis, dan fikih sehingga beliau lebih cepat pandai
daripada kawan sebayanya.[4]
Pada tahun 1916 sampai tahun 1923 Hamka bersekolah di Diniyah School dan
Sumatera Thawalib, guru-gurunya waktu itu ialah Syekh Ibrahim Musa Parabek,
Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay. Padang Panjang waktu itu ramai
dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri.[5]
Hamka adalah seorang murid
tokoh pergerakan islam, H.O.S. Tjokroaminoto. Tidak diherankan kalau ia tumbuh
dalam naungan kaidah-kaidah islam. Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh
organisasi islam modern Muhammadiyyah. Bahkan Hamka bisa disebut sebagai tokoh
utama berdirinya organisasi itu di wilayah Sumatera Barat. “Muhammadiyah itu
lahir di Yogyakarta, tapi dibesarkan di Sumatera Barat”.[6] Hamka merupakan figur terkemuka dalam
perjuangan revolusioner merebut kemerdekaan nasional di Sumatera Barat dari
tahun 1945 sampai 1949. Pada tahun 1950, ia pindah ke Jakarta dan diangkat
sebagai pejabat tinggi Departemen Agama, Hamka memanfaatkan sebagian besar
waktunya untuk mengajar, menulis dan menyunting serta menerbitkan jurnal Panji
Masyarakat. Pada tahun 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante
mewakili partai politik modern Islam, Masyumi.[7] Meskipun Hamka anggota
konstituante, tetapi kritiknya dalam sidang konstituante di Bandung
tidak digubris. Sis
term demokrasi ultra absolut ini
tetap dijalankan. Protesnya berbuah pemberhangusan. Pada tahun 1964,
Hamka ditangkap tanpa pernah
diadili dan baru dibebaskan setelah
pemerintahan Orde Lama tum
bang.[8]
Kemudian beliau menjadi Imam Besar Masjid al-Azhar, Kebayoran Baru
serta aktif memberikan Kuliah Subuh dan Tafsir al-Qur’an.Pada tanggal 27
Agustus 1964, beliau dipenjara dengan alasan telah melakukan Subversi. Majalah
Panji Masyarakat dihentikan karena menerbitkan artikel M. Hatta yang mengkritik
Sukarno.[9] Namun hal tersebut malah menjadi berkah bagi Hamka karena selama dalam
tahanan, dia sempat menyelesaikan tafsir Al-Qur’an yang dikenal dengan nama
tafsir Al- Azhar . sepuluh tahun (1974) kemudian ia menerima gelar
doctor honoris causa dari Universitas kebangsaan Malaysia.[10]
B.
Pemikiran Hamka Tentang Toleransi
Beragama dalam Tafsir Al-Azhar
Hamka
berpendapat bahwa semua manusia diberikan kebebasan oleh Allah SWT untuk
memeluk agama apapun tanpa adanya paksaan. Hal ini sebagaimana yang diuraikan
oleh Hamka dalam Tafsir AlAzhar QS. Al-Baqarah (2) : 256.
لَا إِكْرَاهَ
فِي الدِّينِ ۖ
قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada
paksaan dalam agama. Telah nyata kebenaran dan kesesatan. Maka barangsiapa yang
menolak segala pelanggaran besar dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
telah berpeganglah dia dengan tali yang amat teguh, yang tidak akan putus
selamalamanya. Dan Allah Maha Mendengar, lagi Mengetahui”.[11]
Hamka mengatakan bahwa sungguh ayat ini adalah suatu tantangan
kepada manusia, karena Islam adalah benar. Orang tidak akan dipaksa untuk
memeluknya, tetapi orang hanya diajak untuk berfikir. Asal dia berfikir sehat,
dia pasti akan sampai kepada Islam. Tetapi kalau ada paksaan, pastilah timbul pemaksaan
pemikiran, dan mestilah timbul taqlid. Ayat ini adalah dasar teguh dari Islam.
Musuh-musuh Islam membuat berbagai macam fitnah yang dikatakan ilmiah bahwa
Islam disebarkan dengan pedang. Islam dituduh memaksa manusia untuk memeluk
agamanya. Padahal kalau memang mereka benar-benar ingin mencari data yang
ilmiah hendaknya mereka melihat langsung dari al-Qur’an yaitu seperti terdapat
dalam surat al-Baqarah : 256, bahwa dalam hal agama tidak boleh ada
paksaan.
Asbabun nuzul dari ayat ini adalah adanya sebagian penduduk
Madinah sebelum memeluk Islam mereka menyerahkan anak-anaknya kepada
orang-orang Yahudi Bani Nadhir untuk dirawat dan dididik. Setelah besar,
anak-anak itu menjadi Yahudi. Setelah penduduk Madinah memeluk Islam dan
terjadi pengusiran terhadap Bani Nadhir mereka menginginkan agar anak-anak
mereka yang telah menjadi Yahudi supaya ditarik kembali masuk Islam dan bila
perlu dengan dipaksa. Tetapi Rasulullah tidak menyetujui permintaan ini.
Anak-anak itu diberi kebebasan untuk memilih apakah tetap menjadi Yahudi dan
diusir keluar Madinah atau kembali kepada orang tuanya menjadi muslim dan
tinggal di Madinah.[12]
Pemaksaan hanya akan memperbanyak korban namun tidak menunjukkan
sikap yang bijaksana. Paksaan hanya dapat dilakukan oleh golongan yang
berkuasa, yang hati kecilnya sendiripun tidak yakin bahwa dia di pihak yang
benar.[13] Oleh
karena itu, sesuai dengan kandungan yang terdapat dalam QS. AlKahfi Ayat 29,
bahwa keimanan itu adalah pilihan merdeka, atas persetujuan hati nurani dan
akal sendiri, bukan merupakan paksaan dari luar. Pilihan keimanan adalah
pilihan atas kebenaran yang berasal dari Tuhan.
Umat Islam menurut Hamka juga dilarang mencaci-maki sesembahan yang
disembah oleh orang Kafir karena itu akan menyebabkan mereka akan balik memaki
Allah dengan tanpa ilmu. Lebih baik ditunjukkan saja kepada mereka alasan yang
masuk akal bagaiman menyembah berhala, dan menyembah selain Allah.[14] Hamka
menjadikan Q.S. AlMumtahanah 7-9 sebagai pedoman bagi umat Islam untuk bergaul
dan berinteraksi sehari-hari dengan komunitas lain di luar Islam. Umat Islam
dipersilahkan untuk bergaul dengan akrab, bertetangga, saling tolong-menolong,
bersikap adil dan jujur kepada pemeluk agama lain. Tetapi jika ada bukti bahwa
pemeluk agama lain itu hendak memusuhi, memerangi dan mengusir umat Islam, maka
semua yang diperbolehkan itu menjadi terlarang.
Batasan toleransi berdasarkan QS. Al Mumtahanah : 7-9,
pernah disampaikan langsung oleh Hamka selaku ketua MUI kepada Presiden
Soeharto pada tanggal 17 September 1975. Hal ini berkaitan dengan peliknya
hubungan antar agama di Indonesia pada saat itu terutama antara Islam dan
Kristen. Akan tetapi di samping harus bergaul, tolong-menolong dan berbuat baik
kepada umat agama lain, menurut Hamka umat Islam juga tetap diminta untuk
selalu waspada terhadap golongan Yahudi dan Nasrani karena dalam hal ini Allah
sendiri telah menjelaskan didalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 120
وَلَنْ
تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ
قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ
مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Dan
sekali-kali tidaklah akan rela orangorang Yahudi dan tidak pula orang Nasrani,
sebelum kamu jadi pengikut agama mereka.”
Hamka
sebagai seorang ulama dikenal tegas dan gigih membela akidah Islam, hal ini
tercermin dalam sikapnya ketika menyikapi toleransi yang sudah menyangkut
masalah keimanan. Menurut Hamka tidak ada toleransi dalam masalah yang
menyangkut keimanan. Hamka pernah menolak secara tegas ide tentang perayaan
Natal bersama yang digulirkan oleh pemerintah Orde Baru pada waktu itu dengan
tujuan menjaga kerukunan antar umat beragama.[15]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut pemikiran Hamka tentang toleransi beragama dalam tafsinya
yaitu Al- Azhar, beliau berpendapat bahwa semua manusia diberikan kebebasan
oleh Allah SWT untuk memeluk agama apapun tanpa adanya paksaan. . Orang tidak
akan dipaksa untuk memeluknya, tetapi orang hanya diajak untuk berfikir. Asal
dia berfikir sehat, dia pasti akan sampai kepada Islam. Tetapi kalau ada
paksaan, pastilah timbul pemaksaan pemikiran, dan mestilah timbul taqlid.
Pemaksaan hanya akan memperbanyak korban namun tidak menunjukkan sikap yang
bijaksana.
Paksaan hanya dapat
dilakukan oleh golongan yang berkuasa, yang hati kecilnya sendiripun tidak
yakin bahwa dia di pihak yang benar. Umat Islam menurut Hamka juga dilarang
mencaci-maki sesembahan yang disembah oleh orang Kafir karena itu akan
menyebabkan mereka akan balik memaki Allah dengan tanpa ilmu. Lebih baik
ditunjukkan saja kepada mereka alasan yang masuk akal bagaiman menyembah
berhala, dan menyembah selain Allah.
Umat
Islam dipersilahkan untuk bergaul dengan akrab, bertetangga, saling
tolong-menolong, bersikap adil dan jujur kepada pemeluk agama lain. Tetapi jika
ada bukti bahwa pemeluk agama lain itu hendak memusuhi, memerangi dan mengusir
umat Islam, maka semua yang diperbolehkan itu menjadi terlarang. Dan menurut
Hamka tidak ada toleransi dalam masalah yang menyangkut keimanan. Hamka pernah
menolak secara tegas ide tentang perayaan Natal bersama yang digulirkan oleh
pemerintah Orde Baru pada waktu itu dengan tujuan menjaga kerukunan antar umat
beragama
DAFTAR PUSTAKA
Natsir,
M, Islam dan Kristen di Indonesia, Jakarta: Media Dakwah, 1988.
Tim Narasi, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, Penerbit Narasi : Yogyakarta, 2005.
Hidayat, Usep Taufik, Al-Turas Vol XXI No1: Tafsir
al-Azhar (Menyelami Kedalaman Tasawuf Hamka), Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015.
Jannah, Roudlotul, Skripsi Pemikiran Tafsir
Hamka Tentang NIlai-nilai Pendidikan Budi Pekerti, Stain Salatiga, Salatiga,
2015
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz
III, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Hamka, Tafsir
Al-Azhar Juz XI , Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
Hamka,
Tafsir Al-Azhar Juz VII-VIII, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984.
Gunawan,
Hendri, Skripsi Toleransi Beragama Menurut
Pandangan Hamka Dan Nurcholis Madjid, UIN
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2015
[2] Tim Narasi, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia,
Penerbit Narasi : Yogyakarta, 2005,
hlm.79
[3] Usep Taufik
Hidayat, Al-Turas Vol XXI No1: Tafsir al-Azhar (Menyelami Kedalaman Tasawuf
Hamka), Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015,
hlm. 44.
[4]Roudlotul Jannah, Skripsi Pemikiran
Tafsir Hamka Tentang NIlai-nilai Pendidikan Budi Pekerti, Stain Salatiga,
Salatiga, 2015, hlm. 27.
[6] Tim Narasi, Op. Cit. Hlm. 79
[12] Ibid,
hlm.21
[14] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz VII-VIII, Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1984, hlm. 409.
[15] Hendri
Gunawan, Skripsi Toleransi Beragama Menurut
Pandangan Hamka Dan Nurcholis Madjid, UIN
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2015, hlm.8